Ketika kita menjejakkan kaki di tanah Jawa, bayangan peradaban besar Mataram Kuno tak bisa dilepaskan dari kemegahan Candi Borobudur dan Prambanan. Struktur batu raksasa yang diukir dengan detail luar biasa ini menjadi saksi bisu kejayaan sebuah era. Namun, sebuah pertanyaan besar kerap kali muncul: Jika mereka mampu membangun candi semegah itu, di manakah istana para raja? Di manakah rumah-rumah mewah para bangsawan yang memerintah?
Anehnya, catatan arkeologi seakan bisu. Kita menemukan candi-candi yang kokoh menantang zaman, namun tidak ada satu pun sisa istana atau hunian mewah dari batu yang ditemukan. Apakah ini berarti para raja hidup dalam kesederhanaan? Jawabannya jauh lebih kompleks dan menarik, mengungkap sebuah pandangan hidup yang mendalam dan kearifan lokal yang luar biasa.
Prioritas Abadi: Rumah untuk Para Dewa
Kunci untuk memecahkan misteri ini terletak pada pemahaman kosmologi dan spiritualitas masyarakat Mataram Kuno. Bagi mereka, dunia terbagi menjadi dua ranah utama: ranah sakral (ilahi) dan ranah profan (duniawi).
* Ranah Sakral: Candi adalah representasi dari ranah ini. Ia bukan sekadar tempat ibadah, melainkan "rumah" bagi para dewa di bumi dan replika gunung suci Mahameru. Oleh karena itu, persembahan kepada dewa haruslah yang terbaik, terkuat, dan paling abadi. Batu andesit dipilih karena kekuatannya, melambangkan keabadian. Mereka percaya, dengan membangun struktur yang kekal untuk para dewa, jalan mereka menuju nirwana atau moksha setelah kematian akan dipermudah. Kemegahan candi adalah wujud dharma (kewajiban suci) seorang penguasa untuk menjaga keharmonisan kosmos.
* Ranah Profan: Sebaliknya, istana dan rumah tinggal adalah bagian dari dunia profan. Kehidupan manusia dianggap fana, hanya sementara. Maka, membangun istana dari batu yang bersifat abadi dianggap tidak selaras dengan filosofi ini. Kemewahan duniawi bukanlah tujuan utama, melainkan pengabdian kepada yang ilahi.
Kecerdasan Arsitektur dalam Menghadapi Alam
Namun, alasan ini bukan satu-satunya. Pilihan untuk tidak membangun istana dari batu juga merupakan bukti kecerdasan arsitektural dan pemahaman mendalam terhadap kondisi geografis Jawa.
Nenek moyang kita sadar betul bahwa mereka hidup di atas "Cincin Api Pasifik" (Ring of Fire), sebuah negeri yang akrab dengan amukan alam. Gempa bumi, letusan gunung berapi, dan banjir adalah bagian dari siklus kehidupan yang harus dihadapi.
Dalam konteks ini, bangunan dari kayu dan bambu pilihan adalah solusi paling jenius:
* Tahan Gempa: Struktur kayu dengan sistem pasak dan sambungan yang fleksibel jauh lebih mampu menahan guncangan gempa dibandingkan bangunan batu yang kaku dan berat. Bangunan ini akan "menari" bersama gempa, bukan melawannya.
* Mudah Diperbaiki: Jika terjadi kerusakan akibat bencana, membangun kembali struktur kayu jauh lebih cepat dan mudah.
* Adaptif terhadap Iklim: Rumah panggung dari kayu memberikan sirkulasi udara yang lebih baik di iklim tropis yang lembap, menjadikannya lebih sejuk dan nyaman.
Jadi, istana dan rumah mereka kemungkinan besar adalah bangunan panggung yang megah, terbuat dari kayu-kayu jati atau ulin terbaik, dengan atap ijuk atau sirap, serta dinding anyaman bambu (gedhek) yang diukir halus.
Jejak Kemewahan yang Fana
Lantas, apakah ini berarti kehidupan mereka tidak mewah? Tentu saja tidak. Kemewahan tidak mereka wujudkan pada bangunan, melainkan pada isinya.
Bukti arkeologis menunjukkan hal ini dengan jelas. Penemuan harta karun seperti Harta Karun Wonoboyo memperlihatkan koleksi mangkuk, gayung, dan perhiasan dari emas murni dengan pahatan yang sangat halus. Relief-relief di Candi Borobudur dan Prambanan juga sering menggambarkan detail kehidupan istana, lengkap dengan perabotan indah, wadah keramik dari Tiongkok, serta busana sutra dan perhiasan emas yang dikenakan para penghuninya.
Kemewahan mereka ada pada perkakas, perhiasan, dan gaya hidup, bukan pada material bangunan tempat mereka tinggal.
Kesimpulan: Warisan dalam Wujud Kearifan
Ketiadaan bekas istana megah dari era Mataram Kuno bukanlah tanda ketidakmampuan, melainkan cerminan dari sebuah kearifan yang utuh. Ia menunjukkan sebuah peradaban yang:
* Sangat Spiritual: Mendahulukan keabadian untuk para dewa di atas kemegahan duniawi untuk manusia.
* Sangat Adaptif: Memahami dan menghormati kekuatan alam, lalu berinovasi dengan arsitektur yang selaras dengannya.
Warisan Mataram Kuno yang sesungguhnya mungkin bukanlah istana batu yang hilang, melainkan dua hal yang tetap relevan hingga kini: candi-candi abadi sebagai monumen spiritual dan filosofi bangunan tahan gempa sebagai bukti kecerdasan yang menyatu dengan alam. Mereka telah meninggalkan jejak, bukan dalam bentuk istana yang fana, tetapi dalam bentuk iman dan kearifan yang menembus zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar